Sejauh mata memandang, rerimbunan mangrove Papua yang asri dan mempesona akan membuatmu tergugah untuk menapaki setiap jejak rimbanya, langkah demi langkah. Terlebih ketika menginjakkan kaki di Papua Barat, mangrove sebagai penyokong utama kelestarian alam menyimpan segudang keanekaragaman hayati yang berpotensi mendukung kesejahteraan masyarakat lokal. Faktanya, Papua Barat menjadi provinsi dengan bentang mangrove terluas dalam skala nasional, sehingga sangat disayangkan apabila sumber daya yang melimpah ini tak dimanfaatkan oleh masyarakat secara bijaksana untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari.
Gambar 1 Mangrove Papua Barat
Selain sebagai penyerap karbon yang efektif, mangrove dapat menjadi sumber mata pencaharian masyarakat di sekitarnya berupa Hasil Hutan Bukan Kayu. Kerap disingkat HHBK, bahan-bahan yang didapat dari kawasan hutan tanpa harus menebang pohon ini dimanfaatkan atau diambil bagiannya, seperti daun, buah, bunga, dan limbah propagul dari mangrove. Perlu kamu ketahui, propagul merupakan buah mangrove yang telah mengalami perkecambahan dan mengandung senyawa tanin yang berpotensi menjadi pewarna alami. Jadi, HHBK mangrove inilah yang nantinya dapat diolah menjadi produk makanan, obat-obatan, skincare, bahkan ekowisata.
Beberapa waktu lalu, Sebumi berkesempatan mendampingi mama-mama di Kepulauan Fam dengan memberikan pelatihan produk HHBK Mangrove yang bertujuan untuk mengembangkan dan mempromosikan kekayaan sumber daya alam di Kepulauan Fam dan sekitarnya.. Kedatangan tim Sebumi disambut hangat oleh 33 orang mama-mama dari tiga kampung berbeda di Kabupaten Raja Ampat, yaitu Kampung Pam, Kampung Saukabu, dan Kampung Saupapir yang siap mengikuti seluruh rangkaian kegiatan. Pelatihan selama tiga hari ini mengusung 3 program, yakni pembuatan tepung olahan dari buah lindur (Bruguiera gymnorrhiza) atau disebut Aiwon dalam bahasa lokal, produk teh dari daun beluntas (Pluchea indica), dan ecoprint dengan pewarna alami dari limbah mangrove (Rhizophora sp. dan Bruguiera sp.).
Bersama partner kami yaitu Yayasan Konservasi Indonesia (YKI), mama-mama dikumpulkan dalam sebuah pulau bernama Mioskor, yang dalam bahasa lokal berarti Pulau Mangrove. Mioskor menjadi tempat dilaksanakannya kegiatan pelatihan produk olahan HHBK Mangrove. Memasuki hari pertama pelatihan, mama-mama dibekali pengetahuan terlebih dahulu mengenai pembuatan tepung mangrove dan ecoprint dengan teknik pounding. Tak lupa, contoh berbagai produk olahan mangrove juga diberikan, seperti keripik mangrove, pangsit dari daun beluntas, dan produk lainnya yang bertujuan agar mama-mama mendapat gambaran akan hasil olahan produk HHBK Mangrove dari pelatihan yang akan diikuti.
Gambar 2 Dermaga menuju Mioskor
Gambar 3 Kegiatan pelatihan HHBK
Praktik dimulai dengan mengupas buah lindur selayaknya mengupas apel sampai benar-benar tipis, lalu setiap irisan direbus hingga 1 jam untuk menghilangkan rasa pahit dari tanin. Sebagai upaya dalam mengeluarkan kandungan tanin dalam buah secara maksimal, hasil rebusan ini kemudian direndam dengan arang selama semalaman. Nah, sisa air rebusan yang berwarna kecoklatan tidak langsung dibuang, melainkan disimpan dan diendapkan selama semalam untuk nantinya dimanfaatkan sebagai bahan pewarna kain ecoprint. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan pelatihan ecoprint menggunakan teknik pounding. Mama-mama diberikan selembar kain dengan serat alami dan kayu pemukul seperti palu untuk memukul-mukul daun dan bunga di atas kain ecoprint agar zat warna alami dari daun dan bunga dapat terserap dengan sempurna pada kain ecoprint.
Gambar 4 Proses perebusan buah lindur
Gambar 5 Proses pembuatan ecoprint teknik pounding
Hari telah berganti, proses pembuatan tepung dilanjutkan dengan menghaluskan buah lindur pada hari sebelumnya yang telah direbus dan diendapkan selama semalaman hingga hancur dan teksturnya menjadi seperti bubur. Adonan ini kemudian dioleskan tipis-tipis secara merata di atas nampan beralaskan plastik. Barulah proses pengeringan dilakukan di tengah cuaca terik yang sangat mendukung di pinggiran pantai Mioskor. Keesokan harinya, setelah adonan dirasa kering dan teksturnya mirip keripik ini kemudian ditumbuk hingga halus dan jadilah tepung mangrove. Selanjutnya, kegiatan berlanjut pada pelatihan membuat teh dari daun beluntas dengan mencarinya daunnya terlebih dahulu di sekitar pulau. Hasil petikan daun ini kemudian disangrai hingga cukup kering, lalu ditumbuk sampai teksturnya agak hancur atau diblender menjadi bubuk. Jadi, output dari program ini dapat dikategorikan menjadi dua, yakni teh celup dari tumbukan daun beluntas yang dimasukkan ke dalam kantong dan teh bubuk. Aroma unik yang terpancar dari teh daun beluntas ini juga menyimpan segudang manfaat, yaitu dapat menjadi pereda nyeri sehingga cocok dikonsumsi bagi para perempuan yang sedang menstruasi.
Gambar 6 Penjemuran tepung mangrove
Gambar 7 Penjemuran daun beluntas
Tak hanya teknik pounding, mama-mama juga mendapatkan pelatihan ecoprint dengan teknik blanket. Mirip dengan proses pencelupan batik pada umumnya, kain ecoprint dicelupkan ke dalam sisa air rebusan semalam dari pembuatan tepung. Jadi, teknik ini memuat aspek sustainable fashion karena memanfaatkan limbah propagul mangrove. Kepadatan di hari kedua juga tak lepas dari antusiasme mama-mama, bahkan sebelum pelatihan dimulai. Atas inisiatif sendiri, mereka membawa berbagai macam bunga dan dedaunan dari pekarangan masing-masing tanpa adanya instruksi di hari sebelumnya.
Semangat mama-mama masih terbawa hingga memasuki hari ketiga, hal ini dibuktikan dengan tepung mangrove yang langsung mereka olah menjadi kudapan ringan seperti stik daun beluntas dengan menggunakan tepung dari buah lindur. Kreativitas mama-mama dalam membuat produk inilah yang kemudian berpotensi dijual sebagai produk lokal atau UMKM untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Kemudian, pelatihan ecoprint dengan teknik basic mirror diadakan sebagai penutup rangkaian kegiatan di hari terakhir. Berbeda dari sebelumnya, teknik ini memanfaatkan bagian dalam dari kain tote bag untuk ditempel dedaunan maupun bunga mangrove secara merata, kemudian tote bag digulung dan direbus kurang lebih selama 1 sampai 2 jam. Nah, output yang dihasilkan akan sama motifnya pada bagian dalam maupun luar tote bag, sehingga dinamakan basic mirror.
Gambar 7 Cemilan stik daun beluntas
Gambar 8 Proses pembuatan ecoprint tote bag dengan teknik basic mirror
Tak berhenti di sini, seluruh rangkaian pelatihan diharapkan dapat berperan bagi pengembangan produk yang inovatif dan berkelanjutan oleh masyarakat Kepulauan Fam demi mewujudkan ekonomi sirkular. Kita sebagai masyarakat urban yang jauh dari ekosistem mangrove juga dapat berkontribusi dalam upaya pelestariannya, bisa dengan cara membeli produk olahan HHBK mangrove ketika berkunjung ke Raja Ampat atau turut serta dalam mangrove planting, yang pastinya mendukung kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam.