Ketika merasa jenuh dengan padatnya aktivitas dalam bekerja maupun kesibukan lainnya, pastinya terbesit di pikiran bahwa kita sebenarnya butuh healing untuk kembali menyegarkan otak bukan? Biasanya, bepergian ke suatu objek wisata menjadi pilihan yang tepat untuk menenangkan diri dan meredakan stres. Setidaknya, berwisata membuat diri kita rileks dan terlepas sejenak dari segala rasa penat.

Namun, apakah Sobat Bumi pernah berpikir bahwa kegiatan pariwisata berdampak bagi lingkungan? Yap, menurut UNEP, adapun 3 dampaknya terhadap lingkungan, yakni menipisnya sumber daya alam di sekitar lokasi wisata, tergerusnya keanekaragaman hayati dan satwa liar, serta berkontribusi pada berbagai macam polusi yang dihasilkan. Apalagi dengan meredanya pandemi, aktivitas pariwisata mulai kembali ramai bahkan sampai penuh sesak karena banyak orang berbondong-bondong untuk berwisata. Niat hati ingin bersenang-senang, tetapi sirna begitu saja karena keadaan yang tak memungkinkan.

Perlu Sobat Bumi sadari, bepergian nyatanya berkontribusi pada darurat iklim. Bagaimana tidak? Sektor pariwisata saja menyumbang sekitar 8% emisi karbon di seluruh dunia. Mulai dari transportasi, penginapan, berburu suvenir, hingga aktivitas lainnya oleh pengunjung yang menghasilkan jejak karbon. Berarti, seiring bertambahnya jumlah orang yang mampu melakukan perjalanan wisata, demikian juga dengan jejak karbon yang ditinggalkannya.

Berdasarkan diagram di atas, sebagian besar jejak karbon pariwisata global disumbang oleh kegiatan transportasi sampai 49%. Kendaraan yang memungkinkan kita menjelajahi berbagai destinasi ini menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca pariwisata. Seperti halnya pesawat, mobil, dan sepeda motor yang secara berurutan menghasilkan 0.82, 0.55 sampai 0.68, dan 0.40 pon CO2/mil penumpang. Kemudian, apabila kita bepergian jauh dan menginap di suatu hotel atau homestay, pastinya tak terlepas dari penggunaan energi. Mulai dari akomodasi pemanas dan AC, belum lagi konsumsi listrik lainnya untuk menghidupkan lampu maupun mengisi baterai gadget yang tentu menghasilkan CO2.

Selanjutnya beralih ke makanan dan minuman, kita ambil contoh pada objek wisata terpencil yang pastinya membutuhkan impor bahan baku dari luar. For your information, makanan yang kita konsumsi saat ini melalui proses yang begitu panjang untuk sampai di meja kita. Bayangkan saja, apabila ditambah dengan perjalanan mengantarkan bahan makanan tersebut ke dapur restoran wisata terpencil barusan, masuk akal jika semakin banyak emisi karbon yang dihasilkan. Belum lagi dengan potensi food waste tiap harinya. Terakhir adalah belanja, yang menjadi masalah ketika wisatawan tak cukup hanya membeli cendera mata, tetapi ditambah dengan membeli baju-baju keluaran produksi massal yang tentu turut menyumbang emisi karbon.

Dampak perubahan iklim semakin nyata, penting bagi industri pariwisata, pemerintah, para pelancong, dan pihak terkait lainnya bersama mengambil tindakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan perlahan beralih kepada energi terbarukan. Itu saja pun tak cukup, upaya carbon offset juga harus dilakukan untuk melengkapi praktik berkelanjutan dan mengurangi jejak karbon pariwisata.

You Might Also Like