Terbentuk sejak ribuan tahun lalu, lahan gambut telah menjadi saksi hidup akan kehidupan manusia. Namanya mungkin kerap samar di kepala. Namun, sejak dulu, ia adalah pahlawan yang melindungi manusia dari bencana iklim.

Hitam, basah, dan ‘mungkin’ mengerikan. Umumnya, tiga kata itu adalah impresi pertama saat pertama kali orang menjejakkan kakinya di ekosistem gambut. 

Hitam dan basah memang karena dari penampilan sudah seperti itu. Mengerikan karena ketika kita menginjakkan kaki di tanah gambut, kita bisa saja terperosok ke dalamnya dan ditelan oleh tanah gambut (Tentunya tidak semengerikan film-film layar lebar). 

Terlepas dari adanya kata mengerikan, nyatanya ekosistem gambut adalah ekosistem yang indah. Ia penuh flora dan fauna unik yang telah beradaptasi dengan lingkungan gambut yang khas. Serta, dibalik tanahnya yang basah dan hitam, terdapat fungsi ekologis yang luar biasa. Fungsi ekologis yang telah eksis ribuan tahun silam lewat proses yang panjang.


Dari danau dangkal menjadi hamparan tanah dengan ribuan flora dan fauna

Dahulu, terdapat sebuah danau dangkal. Kemudian, danau itu ditumbuhi oleh vegetasi-vegetasi lahan basah. Semakin bertambah waktu, vegetasi-vegetasi tersebut mati dan melapuk. Di saat yang bersamaan, vegetasi yang mati tergantikan oleh vegetasi baru.

Namun, karena kondisi lingkungan yang anaerob alias minim oksigen, keberadaan biota pengurai sangat terbatas. Alhasil, proses pelapukan vegetasi tersebut tidak berjalan cepat dan sempurna. Sehingga, vegetasi yang setengah melapuk tersebut membentuk lapisan tanah baru yang basah.

Seiring bertambahnya waktu, lapisan vegetasi setengah lapuk itu terus membentuk lapisan-lapisan tanah baru yang semakin tebal yang kini kita sebut sebagai gambut.

Tentunya, proses diatas tidaklah singkat. Berdasarkan riset, untuk membentuk tanah gambut sedalam 4 meter saja, dibutuhkan waktu hingga 2.000 tahun!


Kini, ia menempati 3% daratan Bumi dan berperan vital untuk kehidupan di Bumi.

Kini, ia menempati 3% daratan di Bumi ini, termasuk di Indonesia. Berdasarkan Global Wetlands Data, Indonesia merupakan pemilih gambut terbesar kedua di dunia,.

#Fyi, berdasarkan penanggalan, karbon di Indonesia sendiri terbentuk 6.800 - 4.200 tahun yang lalu. Bahkan, di wilayah Kalimantan Tengah, gambut dengan kedalaman 5 meter memiliki umur 8.260 tahun!

Walau hanya menempati sebagian kecil daratan Bumi, ia mampu menyimpan 600 gigaton karbon! Atau setara dengan 44% karbon yang ada di tanah bumi ini. Artinya, ia adalah komponen penting untuk mencegah perubahan iklim di bumi ini.

Oiya, gambut sendiri mampu menyerap karbon 2 kali lebih banyak dibanding tanah mineral biasa. Hal ini disebabkan karena proses pelapukan yang lama di ekosistem ini. Sehingga karbon yang harusnya terlepas ke atmosfer bisa tertahan di tanah gambut.

Gambut juga berperan sebagai spons. Ia bertugas menyerap air dan menghindarkan manusia di sekitarnya terkena banjir. Tak lupa, ia juga membantu menjaga kualitas air.

Tentunya, sebagai ekosistem, ia dihuni oleh ratusan jenis flora dan fauna langka. Sebut saja seperti orangutan, kantung semar, dan pohon dipterocarpaceae yang bernilai ekonomi tinggi.


Tapi, tidak semua orang mengindahkan peran dan keberadaannya.

Jika berdasarkan fakta, peran gambut sangatlah besar dan vital bagi kehidupan di bumi. Namun, tidak semua orang beranggapan sama. Beberapa dari kita melihat gambut sebagai ekosistem basah yang tidak subur dan produktif.

Akibatnya, tak sedikit ekosistem gambut yang dibakar dan dikonversi untuk peruntukan lain seperti perkebunan. Menurut laporan CIFOR, dalam periode 1990-2010, tutupan hutan gambut di Kalimantan, Sumatera, dan Pinsular Malaysia telah berkurang dari 77% menjadi hanya 36%!

Akibat dari konversi tersebut, gambut melepas ratusan juta ton karbon yang telah ia simpan ribuan tahun ke atmosfer dan mempercepat perubahan iklim.

Pada 2015, kebakaran hutan dan gambut di Indonesia saja merilis 16 juta ton karbon per hari! Hal ini melebihi emisi karbon Amerika Serikat dalam sehari. Dimana Amerika Serikat merupakan top 3 penghasil emisi karbon.

Jangan lupa juga, asap hasil pembakaran gambut juga membahayakan manusia. Tidak hanya mereka yang ada di sekitarnya, bahkan mereka yang tinggal di lintas negara juga terkena imbasnya.

Serta, konversi gambut juga merenggut ratusan nyawa flora dan fauna, serta mengusir ribuan flora dan fauna dari tempat tinggalnya.


Perubahan iklim dan ingatan akan peran gambut yang samar.

Kini, isu perubahan iklim hadir. Buah dari perbuatan manusia yang mengeksploitasi alam secara terus menerus. Termasuk mengeksploitasi ekosistem gambut.

Namun, saat isu perubahan iklim makin gencar. Kita justru lebih sering mendengar kampanye untuk mengurangi emisi dan menanam pohon dibanding mendukung upaya pelestarian gambut.

Padahal, ekosistem gambut adalah pahlawan yang sejak dulu telah menyelamatkan manusia dari bencana iklim. Namun, namanya begitu samar di kepala kita.

Tapi, itu bukan berarti upaya pemulihan gambut tidak eksis. Ia eksis, bahkan terus bertumbuh dan meluas. Di Indonesia sendiri, mungkin kita pernah mendengar soal 3R, Rewetting, Revegetation, dan Revitalization, sebagai upaya pemulihan gambut.

Memang, memulihkan gambut ke bentuk aslinya adalah sesuatu yang sangat sulit. Bahkan, rasanya mustahil memulihkan ekosistem yang butuh ribuan tahun untuk terbentuk dalam hitungan beberapa tahun saja.

Tapi, itu bukan berarti upaya memulihkan gambut sia-sia. Ia tetap perlu dilakukan. Kita memang tidak bisa memulihkan ia ke bentuk aslinya. Tapi setidaknya, kita bisa memulihkannya mendekati bentuk aslinya.

Dan sebagai masyarakat biasa, kita bisa mulai mendukung pemulihan gambut dengan menggali dan lebih mengenali tentang ekosistem ini. Serta menyuarakan kepedulian dan simpati kita terhadap ekosistem ini.

Karena, jika bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan gambut?


You Might Also Like