Tak jauh dari pusat Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat sebuah gunung purba berusia puluhan juta tahun, dimana di kaki gunung itu tinggal masyarakat desa yang telah merajut mimpinya dan membangun desanya menjadi salah satu desa wisata terbaik dunia.
Nglanggeran, itulah nama gunung api purba berusia 60 juta tahun itu. Nama tersebut juga menjadi nama sebuah desa yang menghuni area di sekitar gunung purba tersebut. Menariknya, Desa Nglanggeran berhasil mengalahkan 44 desa dari 32 negara lainnya dan berhasil menyabet gelar sebagai desa wisata terbaik dunia pada 2021 dari United Nations - World Tourism Organization (UNWTO).
Tentunya, gelar tersebut tidak semata jatuh dari langit. Melainkan, buah hasil dari perjuangan masyarakat Nglanggeran yang saling bahu-membahu dalam membangun Desa Nglanggeran.
Dari desa gersang, menjadi desa penuh daya tarik
Pada awalnya, Desa Nglanggeran adalah desa yang kering dan gersang. Masyarakatnya yang mayoritas bertani hanya bisa bertani kala musim hujan tiba. Jika musim hujan berlalu, masyarakat menggantungkan hidupnya dari mengambil kayu dan batu di area gunung purba tersebut.
Kondisi seperti itu tentunya membuat pemuda tidak tertarik untuk mengeyam nasib hidup di desa. Alhasil, urbanisasi terjadi. Pemuda Desa Nglanggeran banyak yang lebih memilih merantau ke kota untuk mencari sumber penghasilan yang lebih layak.
Tapi tidak seperti kebanyakan pemuda, Sugeng Handoko berpikiran berbeda. Ia yang merupakan lulusan Sarjana Teknik Industri ini justru memilih tinggal di desa dan bertekad mengembangan desanya.
Semua berangkat dari kekhawatirannya melihat alam dan lingkungan desa yang dimanfaatkan tanpa adanya upaya pelestarian, dan kondisi masyarakat desa yang belum sejahtera. Gerakan pelestarian lingkungan sendiri sudah dilakukan Sugeng dan teman-temannya di tahun 1999, dengan menanam pohon di area sekitar Gunung Api Purba Nglanggeran.
Namun, tak ingin berhenti sampai disana, Sugeng juga memikirkan bagaimana caranya agar upaya pelestarian bisa diiringi dengan peningkatan perekonomian masyarakat. Setelah mencari, akhirnya didapatlah pengembangan ekowisata berbasis masyarakat sebagai solusinya.
Bersama beberapa temannya, Sugeng memulai inisiatif pengembangan ekowisata di tahun 2007. Inisiatif mereka dimulai dengan melakukan sosialisasi dan membangun mimpi bersama ke masyarakat desa. Yang mana, tahap ini adalah tahap paling penuh cobaan bagi Sugeng dan teman-temannya.
Ekowisata sendiri merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat Nglanggeran. Alhasil, banyak yang tak setuju dengan ide Sugeng. Banyak penolakan dari masyarakat desa. Dan tak sedikit yang menyuruh Sugeng dan teman-temannya untuk melupakan ekowisata dan fokus mencari pekerjaan yang lebih layak di kota.
Namun, hal tersebut tak membuat Sugeng mundur. Justru hal itu menjadi bahan bakarnya untuk terus meyakinkan masyarakat terkait potensi yang bisa didapat dari ekowisata. Perlahan demi perlahan, masyarakat mulai luluh dan setuju untuk ikut serta dalam membangun ekowisata di Nglanggeran.
Sugeng dan kawan-kawannya juga gigih membangun relasi dengan media. Harapannya mereka bisa mempromosikan Nglanggeran secara lebih luas dan masif.
Tak hanya berelasi dengan media, Sugeng dan teman-temannya juga mengikuti kompetisi pengembangan pariwisata berskala nasional bahkan internasional! Bahkan pada satu kesempatan, Sugeng harus merogoh semua kocek pribadinya untuk terbang ke Eropa untuk mendapat ilmu dan mempromosikan Desa Nglanggeran secara lebih luas.
Perlahan tapi pasti, upaya Sugeng dan teman-temannya mulai membuahkan hasil. Ratusan wisatawan mulai datang setiap bulannya. Masyarakat penyedia homestay dan souvenir mulai mendapatkan imbas dari datangnya wisatawan. Dan, hal ini juga menarik perhatian pemerintah untuk turut memberikan pendampingan dan mempromosikan Desa Nglanggeran ke khalayak yang lebih luas.
Tak hanya menarik perhatian pemerintah, Desa Nglanggeran juga menarik perhatian salah satu penyanyi kondang, yakni Alm. Didi Kempot yang mana nama desa ini masuk dalam lagunya yang berjudul ‘Banyu Langit’. Desa yang dulu gersang dan tak menarik, kini menjadi desa yang penuh daya tarik.
Tak hanya soal perekonomian, tapi juga soal lingkungan
Ekowisata memang memberikan dampak positif ke perekonomian masyarakat Nglanggeran. Namun, semua bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang kelestarian lingkungan.
Lewat ekowisata di Nglanggeran, Sugeng dan masyarakat juga mengedukasi para wisatawan untuk turut menjaga lingkungan, minimal dengan tidak merusaknya. Hasil ekowisata juga digunakan untuk membangun embung yang berperan untuk menampung air hujan dan mengairi perkebunan masyarakat seluas 20 hektar.
Tak heran, jika akhirnya perjuangan masyarakat dalam mengembangkan desanya ini kemudian diganjar oleh beragam penghargaan. Mulai dari penghargaan ASEAN Community Based Tourism Award 2017, Top 100 Global Green Destinations Days di 2018, hingga Desa Wisata Terbaik di 2021 oleh UNWTO.
Pada akhirnya, ekowisata mampu menghadirkan kelestarian lingkungan tanpa harus mengorbankan perekonomian masyarakat. Serta, perjuangan Sugeng dan masyarakat Nglanggeran mengajarkan kita tentang kegigihan dan mimpi memiliki korelasi. Mereka yang gigih mewujudkan mimpinya, pasti akan menggapai mimpinya.